Pakdhe Hary dan Raja Jawa yang Pakai Baju "You Can See"

Ini cerita tentang Pakdhe Hary. Saya mengenal beliau di salah satu acara bimbingan teknis yang diadakan oleh Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta baru-baru ini. 

Pakdhe Hary (selanjutnya disingkat PDH) memiliki tampilan dan gaya yang nyentrik. Rambutnya gondrong, sedikit ikal, dan tampak sudah ditumbuhi uban di sana sini. Melalui gayanya yang khas dan hangat itu, PDH mudah dikenali dan mudah diingat oleh siapa saja. Tetapi bagi saya, perkenalan dan ingatan paling awal mengenai PDH adalah konsistensinya memberikan pertanyaan kepada marasumber tentang persoalan yang muncul ketika sebuah lakon sejarah termasuk para tokohnya direpresentasikan pada media seni lain semisal lukisan atau patung. Dari sini lantas sejak awal saya menduga PDH adalah seorang seniman.

Saya masih ingat PDH melalui pertanyaan-pertanyaan kritisnya kerap menyoal antara lain semisal manakah gambar Pangeran Diponegoro yang paling mendekati kenyataan. PDH juga mengkritisi kecenderungan pemilihan representasi suatu reka tampilan fisik seorang tokoh/pahlawan berdasarkan tampilan yang paling dianggap gagah, tampan, atau rupawan, tanpa mendalami sumber secara lebih teliti seperti serat atau babad yang mengandung keterangan tentang seorang tokoh. 

Pakdhe Hary Sedang Beraksi. 
'Kenakalan' PDH semakin memuncak ketika beliau dengan sengit namun tetap santun mendebat petugas museum yang memberikan penjelasan tentang sebuah lukisan di Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahilah. Lukisan karya S. Sudjojono ini menggambarkan suasana penyerangan Batavia oleh pasukan Sultan Agung dari Mataram antara tahun 1628-1629. Di sini ada beberapa kritik PDH tentang lukisan itu. Di antaranya yaitu seputar keris dan yang paling saya ingat adalah kritik PDH mengenai gaya atau model pakaian yang dikenakan oleh Sultan Agung. "Mosok raja Jawa make baju You Can See"  demikian PDH dengan logat Jawa yang kental.

Kritik tersebut dijawab oleh petugas museum dengan mengatakan bahwa pelukis S. Sudjojono telah melakukan riset yang mendalam sebelum mebuat lukisan. Ditambahkannya lagi bahwa museum juga memiliki sketsa-sketsa detail lukisan yang belum dirangkai menjadi lukisan utuh. Pendapat petugas museum diperkuat oleh Pak Berthold - peserta Bimtek yang juga ahli sejarah - yang berpendapat bahwa S.Sudjojono tentu telah melakukan riset sejarah secara mendalam sebelum membuat lukisan yang penting ini.

Demikianlah perkenalan dengan Pakdhe Hary yang sikap kritisnya perlu ditiru oleh generasi muda dengan tidak menerima begitu saja informasi yang diterima. Saya jadi teringat materi Bimtek tentang kritik sumber sejarah yaitu terdiri dari kritik internal dan eksternal (*loh kok malah jadi bahas pelajaran). 😄


Komentar

  1. Pertanyaan beliau seakan tak ada habisnya ya Mas, haha. Akan tetapi apa yang ia tanyakan itu penting dan menggelitik. Saya belajar banyak dari pertanyaan-pertanyaan beliau, bagaimana memandang sesuatu secara lebih teliti. Tidak serta-merta pula menerima semua penjelasan sebagai dogma. Menurut saya begitulah seorang sejarawan harus berpikiran: mencari kebenaran materiil dari semua fenomena yang tersaji. Disandingkan dengan riset pustaka dan penelitian empiris, jadilah sebuah teori yang dapat diyakini, hehe.

    BalasHapus
  2. Sepakat Gara. Sesuai dengan materi-materi yang yang ada di Bimtek kemarin. Ada kritik sumber yang terdiri dari kritik eksternal dan internal. Seorang penulis sejarah harus jeli menilai sumber-sumber baik yang dia pakai maupun dipakai oleh orang lain.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kongkow Sejarah dan Budaya di Ulujami (2): “Dari Pangkalan Kebo Sampai Pangkalan Delman”