Pakdhe Hary dan Raja Jawa yang Pakai Baju "You Can See"
Ini cerita tentang Pakdhe Hary. Saya mengenal beliau di salah satu acara bimbingan teknis yang diadakan oleh Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta baru-baru ini.
Pakdhe Hary
(selanjutnya disingkat PDH) memiliki tampilan dan gaya yang nyentrik. Rambutnya
gondrong, sedikit ikal, dan tampak sudah ditumbuhi uban di sana sini. Melalui gayanya
yang khas dan hangat itu, PDH mudah dikenali dan mudah diingat oleh siapa saja.
Tetapi bagi saya, perkenalan dan ingatan paling awal mengenai PDH adalah
konsistensinya memberikan pertanyaan kepada marasumber tentang persoalan yang
muncul ketika sebuah lakon sejarah termasuk para tokohnya direpresentasikan
pada media seni lain semisal lukisan atau patung. Dari sini lantas sejak awal
saya menduga PDH adalah seorang seniman.
Saya masih ingat PDH melalui pertanyaan-pertanyaan kritisnya
kerap menyoal antara lain semisal manakah gambar Pangeran Diponegoro yang
paling mendekati kenyataan. PDH juga mengkritisi kecenderungan pemilihan
representasi suatu reka tampilan fisik seorang tokoh/pahlawan berdasarkan
tampilan yang paling dianggap gagah, tampan, atau rupawan, tanpa mendalami
sumber secara lebih teliti seperti serat atau babad yang mengandung keterangan
tentang seorang tokoh.
![]() |
Pakdhe Hary Sedang Beraksi. |
Kritik tersebut dijawab oleh petugas museum dengan mengatakan bahwa pelukis S. Sudjojono telah melakukan riset yang mendalam sebelum mebuat lukisan. Ditambahkannya lagi bahwa museum juga memiliki sketsa-sketsa detail lukisan yang belum dirangkai menjadi lukisan utuh. Pendapat petugas museum diperkuat oleh Pak Berthold - peserta Bimtek yang juga ahli sejarah - yang berpendapat bahwa S.Sudjojono tentu telah melakukan riset sejarah secara mendalam sebelum membuat lukisan yang penting ini.
Demikianlah perkenalan dengan Pakdhe Hary yang sikap kritisnya perlu ditiru oleh generasi muda dengan tidak menerima begitu saja informasi yang diterima. Saya jadi teringat materi Bimtek tentang kritik sumber sejarah yaitu terdiri dari kritik internal dan eksternal (*loh kok malah jadi bahas pelajaran). 😄
Pertanyaan beliau seakan tak ada habisnya ya Mas, haha. Akan tetapi apa yang ia tanyakan itu penting dan menggelitik. Saya belajar banyak dari pertanyaan-pertanyaan beliau, bagaimana memandang sesuatu secara lebih teliti. Tidak serta-merta pula menerima semua penjelasan sebagai dogma. Menurut saya begitulah seorang sejarawan harus berpikiran: mencari kebenaran materiil dari semua fenomena yang tersaji. Disandingkan dengan riset pustaka dan penelitian empiris, jadilah sebuah teori yang dapat diyakini, hehe.
BalasHapusSepakat Gara. Sesuai dengan materi-materi yang yang ada di Bimtek kemarin. Ada kritik sumber yang terdiri dari kritik eksternal dan internal. Seorang penulis sejarah harus jeli menilai sumber-sumber baik yang dia pakai maupun dipakai oleh orang lain.
BalasHapus